HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Sahliah, Dedi Junaedi

STIT Al Ihsan email: jahemerahsahliah@yahoo.com

IKIP Siliwangi email: dedijunaedi585@gmail.com

ABSTRACT

Education inIslamic in general aims to make the seruants of God who surrender and maintain the religious nature possessed by a person until the end of this life. Education has a role to foster human so as to produce students who have character through the main points of Islamic teachings (Aqeedah, worship and morals). Islamic education hase a clear formula in the field of quality consisting of educators, methods, objectives, curriculum, content, infrastructure and student participation. Students are essentially a person who demands knowledge. Basically students have the main problems and concerns that are important to study. Even an educator has to educate well so that students are formed with moral values so that they are in line with the expected goals in anIslamic perspective.

ABSTRAK

Pendidikan dalam Islam secara umum bertujuan untuk menjadikan hamba Allah yang berserah diri dan menjaga fitrah keagamaan yang dimiliki oleh seseorang sampai akhir hayatnya. Pendidikan memilik peran untuk membina manusia sehingga menghasilkan peserta didik yang memiliki karakter melalui pokok-pokok ajaran Islam (aqidah, Ibadah dan akhlak). Pendidikan Islam memiliki rumusan yang jelas dalam bidang kualitas terdiri dari pendidik, metode, tujuan, isi kurikulum, sarana prasaran dan perserta didik. Peserta didik pada hakikatnya seorang yang menuntut ilmu pengetahuan. Pada dasarnya peserta didik mempunyai masalah pokok permasalahan dan perhatian yang penting untuk diteliti. Bahkan Seorang pendidik harus mendidik dengan baik sehingga terbentuk peserta didik yang berakhlakul karimah sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapakan dalam perspektif Islam.

Kata Kunci: Hakikat, Peserta Didik, Islam

PENDAHULUAN

Dalam Al Quran Allah menciptakan manusia agar menjadikan akhir atau hasil segala aktifitasnya sebagai pengabdian kepada Allah. Sekaligus untuk menjadi seorang khalifah. Manusia sebagai khalifah Allah yang memikul beban yang sangat berat. Tugas ini dapat diaktualisasikan jika manusia dibekali dengana pengetahuan. Semua ini dapat dipenuhi hanya dengan proses pendidikan. [1]Pendidikan harus berbentuk usaha yang sistematis dan ditujukan kepada pengembangan seluruh potensi anak didik dengan berbagai aspeknya, dan tujuan akhirnya adalah kesempurnaan hidup.[2]

Sejalan dengan bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan ajaran Islam yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang laki-laki perempuan dan berlangsung sepanjang hayat.[3]

Pendidikan merupakan bimbingan atau pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan dan seterusnya ke arah terbentuk nya kepribadian muslim. Dengan demikian pendidikan Islam berlangsung sejak anak dilahirkan sampai mencapai kesempurnaannya atau sampai akhir hidupnya[4]. Dalam sabda Nabi SAW:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّايُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)

Artinya “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (H.R. Muslim)”[5].

Dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya; Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (Islam) sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[6]

Dengan demikian agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak didik, seperti disebutkan dalam Hadis nabi:

خَاطِبُواالنَّاسَ عَلىَ عُقُوْلِهِمْ (الحديث)

Artinya: “Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya”.

Dalam proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen yang menempati posisi sentral. Peserta didik menjadi pokok persoalan dan tumbuhan perhatian dalam semua proses pendidikan.[7]

Dari pemaparan latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: bagaimana pengertian peserta didik dalam pendidikan islam?,bagaimana karakteristik peserta didik?,apa saja tugas peserta didik itu?


HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengertian Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam

Dalam Bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik, dan peserta didik[8]. Pertama sebutan murid bersifat umum, sama umumnya dengan sebutan anak didik dan peserta didik. Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam. Di dalam Islam istilah ini diperkenalkan oleh shufi. Istilah murid dalam tasawuf mengandung pengertian orang yang sedang belajar, menyucikan diri, dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid kepada guru (mursyid)-nya. Arti patuh di sini ialah tidak membantah sama sekali. Hubungan guru (mursyid)) dengan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subjek (mursyid)) ke objek (murid). Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut dengan pengajaran berpusan pada guru. Kedua sebutan anak didik mengandung pengertian guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam sebutan anak didik pengajaran masiih berpusat pada guru. Ketiga sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menekannkan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini aktivitas pelajar dalam proses pendidikan dianggap salah satu kata kunci.

Menurut Perspekti Undang-undang sistem pendidikan Nasional no. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 4.” Peserta didik diartikan sebagai anggota masyakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidik tetentu.[9]

Dalam pendidikan Islam peserta didik adalah individu yang sedang berkembang, baik secara fisik, psikologis, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akherat kelak. Didefinisi ini membri arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya mwmrelukan orangb lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Dalam istilah lain anak kandung merupakan peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik disekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.

Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut artiterminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual {mursyid}”. Sedangkan thalib dalam bahasa berarti “orang yang mencari”, sedang menurut istilah tasawuf adalah “penempuh jalan spiritual, yang berusaha keeras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi”. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (thalib)[10].

Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna daripada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh-sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini meunjukan bahwa istilah murid dan thalib menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan pada pendidik.

Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :

1). Aspek Paedogogis.

Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dasar. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.

2). Aspek Sosiologi dan Kultural.

Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.

3). Aspek Tauhid.

Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).

Karakteristik Peserta Didik

Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Dengan demikian disini dijelaskan karakteristik peserta didik yaitu sebagai berikut:

1. Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan oleh orang dewasa.

2. Peserta didik mempunyai kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin

3. Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, entegensi, sosia, bakat, minat, dan lingkungan mempengaruhinya.

4. Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia

5. Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif.

6. Peserta didik mengikuti periode-periodde perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.


Adab dan Tugas Peserta Didik

Menurut Sa’id Hawa yang dikutip oleh Tafsir menjelaskan adab dan tugas murid yang dapat juga disebut sifat-sifat murid[11] sebagai berikut:

1. Murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya. Artinya seorang murid harus suci dari akhlak yang jelek.

2. Murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena dengan kesibukannya akan melengahkannya dari menuntut ilmu.

3. Tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru. Artinya seorang murid harus tawadhu terhadap guru yang berakhlak baik.

4. Orang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaaan pendapat atau kkhilafiah antarmazhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya.

5. Penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya.

6. Tidak menekuni ilmu sekaligus,melainkan berurutan dari yang paling penting.

7. Hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang palping mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya.

Dalam istilah murid mempunyai konsep yang lebihi menjamin tercapainya tujuan pendidikan yaitu terwujudnya manusia yang, memilki kemanusiaan yang tinggi.

Seorang pelajar atau peserta didik juga harus memperhatikan adab atau tugasnya dalam menuntut ilmu diantaranya yaitu[12]:

a. Niat yang ikhlas karena Allah swt ketika menuntuk ilmu hanya mengharapakan Ridha dan pahala dari Allah.[13]

b. Mengawali langkah dengan penyucian hati dari perilaku yang buruk dan sifat-sifat yang tercela.

c. Mengurangi segala keterkaitan dengan kesibukan-kesibukan duniawi dan menjauh dari keluarga dan kota tempat tinggal.

d. Tidak bersikap angkuh terhadap ilmu dan tidak pula menonjolkan kekuasaan terhadap guru yang mengajarinya

e. Tidak memalingkan perhatiannya sendiri untuk mendengar pendapat-pendapat manusia yang bersimpang siur baik ilmu-ilmu yang dipelajarinya itu termasuk ilmu-ilmu dunia maupun ilmu-ilmu akhirat.

f. Menunjukan perhatiannya yang sungguh-sungguh kepada tiap-tiap disiplin ilmu yang terpuji, agar dapat mengetahuai tujuannya masing-masing.

g. Tidak melibatkan diri dalam suatu bagian ilmu sebelum menguasai bagian yang sebelumnya.

h. Berusaha mengetahui apa kiranya yang menjadikaan sesuatu menjadi semulia-mulia ilmu.

i. Menjadikan tujuannya yang segera demi menghiasi batinnya dengan segala aspek kebajikan.

j. Mengetahui antara suatu ilmu dengan tujuannya


Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kkompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud yaitu dengan syairnya sebagai berikut:

الاَلاَتنَاَلُ اْلعِلْمَ اِلاَّبِسِتَّةٍ

سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ

ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاسْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ

وَاِرْشَادِاُسْتَاذٍ وَطُوْلِ الزَّمَانِ

“ Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu: kecerdasan,hasrat atau motivasi yang keras, sabar, modal {sarana}, petunjuk guru, dan masa yang panjang {kontinu}”.

Dari syair di atas kita mengetahui bahwa syarat-syarat yang harus dimilki oleh peserta didik yaitu enam hal yaitu;

  1. Memiliki kecerdasan (dzaka); yaitu penelaran imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat.
  2. Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Hasrat ini menjadi pentin gsebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekedar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Dengan demikian akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang maksimal.
  3. Bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak pernah putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, sosiologis, politik, bahkan administratif.
  4. Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yanng memadai dalam belajar.
  5. Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak menjadi salah pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari.
  6. Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tanpa henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat).

SIMPULAN


Setelah penulis menjelaskan beberapa penjelasan tentang peserta didik maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

2. Dalam Bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik, dan peserta didik.

3. Dalam pendidikan Islam peserta didik adalah individu yang sedang berkembang, baik secara fisik, psikologis, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akherat kelak.

4. Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali dengan “murid” atau thalib. Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut artiterminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual {mursyid}”. Sedangkan thalib dalam bahasa berarti “orang yang mencari”, sedang menurut istilah tasawuf adalah “penempuh jalan spiritual, yang berusaha keeras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi”. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (thalib)



DAFTAR PUSTAKA


Al Mahira. Quran Hafalan dan Terjemahan. Jakarta. Al Mahira. 2018.

Abudin Nata dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2013.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta 2005.

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta. PT Prenada Media Grouf. 2006.

Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif1, 1989

Ahmad Tafsir, Filsafat Pendiidkan Islami, Bandung, PT Remaja Rosda Karya 2006.


Ilmu Pendidikan Dalam Persepektif Islam, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1984.

Desmita. Psiskologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya. 2012

Iskandar Engku dan Siti Zubaidah. Sejarah Pendidikan Islam. Pt Rosda Karya. Bandung. 2016

Supian. Metodologi Studi Islam. Depag: Jakarta. 2009.

Muhammad Baqir, Ilmu dalam Pemahaman Kaum Sufi al-Ghazali, Mizan Media Utama. Bandung 2000.

Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Pandung Lengkap Menuntu Ilmu. Jakarta. Tim Pustaka Ibnu Katsir. 2006.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta. PT Bumi Aksara. 1994.




[1] Abudin Nata dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. 2013. Hlm. 9

[2] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah. Sejarah Pendidikan Islam. Pt Rosda Karya. Bandung. 2016. Hlm. 5

[3] Supian. Metodologi Studi Islam. Depag: Jakarta. 2009. Hlm. 50

[4] Ahmad Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif1, 1989. Hlm 32

[5] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta. PT Bumi Aksara. 1994 Hlm 171

[6] Al. Mahira. Quran Hafalan dan Terjemahan. Jakarta. Al Mahira. 2018. Hlm. 407

[7] Desmita. Psiskologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya. 2012.Hlm. 39.

[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendiidkan Islami, Bandung, PT Remaja Rosda Karya 2006. Hlm 165

[9] Desmita. Psiskologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya. 2012.Hlm. 39.

[10] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta. PT Prenada Media Grouf. 2006. Hlm 103

[11] A. Tafsir. Opcid.Hlm 166-168

[12]Muhammad Baqir, Ilmu dalam Pemahaman Kaum Sufi al-Ghazali, Mizan Media Utama. Bandung 2000. Hlm 21

[13] Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Pandung Lengkap Menuntu Ilmu. Jakarta. Tim Pustaka Ibnu Katsir. 2006. Hlm. 25